Manusia putus Titah
{Orasi Jumaat Malam}
SALAM dan selamat petang.
Teman-teman dan kekasihku; ada serangkap puisi Horatius buat semua~
EST you should think that verse shall die,
Which sounds the silver Thames along,
Taught on the wings of truth to fly
Above the reach of vulgar song;
Quintus Haratius Flaccus: nama timang-timangannya dalam kata Inggeris ialah “Horatius.” Pada umur lima puloh tujuh, dia meninggal delapan tahun sebelum tibanya Nabi Isa alaihi-salam.
Tersebutlah kisah tentang Horatius yang menyerah diri kepada satria dan pemimpin besar bangsa; kepada Brutus dan Cassius. Penyair ini asalnya adalah seorang soldadu Republik yang rela mati di hujung mata busur dan dia tidak asing melontarkan diri ke medan tempur. Penyerah jiwa raga kepada pemimpin, dan berani bertempur di medan perang adalah sifat laki-laki; adalah sesuatu yang dianggap suci baik kepada kita hari ini, mahupun sejak di kota Athena kuno itu lagi.
Hanya selepas pulang dari Philippi di dekat Timur Macedonia, dia memutuskan untuk jadi “tidak suci” lagi, dan, barangkali juga sudah tidak perlu makna kelelakian atas tafsir tradisi yang lelah. Horatius pulang ke Rom dengan pulang untuk sebuah pekerjaan hina, yakni, menulis surat-surat cerca. Horatius dalam sejarahnya bukan sahaja manusia pertama di dunia yang menulis “satira”—dengan sederet kata kabur juga sindir— tetapi dia juga telah menulis “lampoon”; inilah surat-surat cerca!
Pada ketika itu juga kemudiannya dia menghasilkan epistle: sebuah karya Latin yang selalu dirujuk sebagai “Epistularum liber primus.” Kepada semua—disanalah maksud dan pelantar orasi saya malam ini akan bertolak.
***
Maaf karena minggu lalu saya tidak hadir, sedangkan, ada yang menunggu hingga larut.
Kita sesungguhnya sedang membangunkan sebuah pekerjaan yang pada mata orang barangkali sudah tidak punya kiblat dan harap—tapi kita tetap punya cita karena saya yakin sama sekali bukan sedikit hari ini yang misalnya gelisah dan cemoh dengan media, kebudayaan, intelektual, dengan politik dan kekuasaan yang semakin bacul.
Sejak gelodak Reformasi tujuh tahun lalu sepatutnya sudah mampu memahamkan kepada kita betapa kaum muda tidak boleh lagi berlebih-lebih bergantung tali kepada si tua—“tua” nampaknya adalah selalu simbol korup yang maha tegar. Cuma, kita bersyukur apabila dalam tiap ketika, dalam tiap zaman; akan ada sebuah lorong yang lain, yang kini sedang kita cuba untuk teroka. Nama lorong ini adalah “mandiri” dan “ikhtiar.”
Sebelum ke sana, saudara-saudara semestinya sahaja sadar antara yang mencetuskan alasan tidak sama sama sekali dengan yang menyatakan jawapan. Beginilah saya mulai daripada “Epistularum” tadi, pada baris ke 40 dalam fasa 2, atau baris ke 148 keseluruhan, apa kata Horatius (?)—katanya “[D]imidium facti, qui coepit, habet; sapere aude.”
***
SEBELAS abad yang menyusul, Kant menemui dan mengangkat istilah pada akhir kata itu menjadi slogan tunggal: “sapere aude!” Di permukiman Konigsberg yang sekejap lagi bakal diliput salju musim dingin, di dekat Prussia; kata “sapere aude” langsung berkembang atas tafsir—dan barangkali atas keperluan—penghujung abad ke-18.
Immanuel Kant—filasuf dengan “esei 30 September” yang ulung itu; “Answering the Question: What is Enlightenment?”—adalah bulat berhujung-pangkal kepada kata dari karya Horatius tadi. Kita mendengar lantaran Kant yang menulis secara tetap dalam penerbitan Berlinische Monatschrift, [atau, “Bulanan Berlin”] adalah tidak lain tidak bukan untuk berhadapan dengan persoalan-persoalan dari seorang teman yang bertugas dengan pemerintah. Kepada Kant, temannya itu Reverend Johann Friedrich Zöllner tiada putus mengasak untuk memahami makna “Enlightenment” dalam surat-surat yang dia utus kepada Kant—dan kini “pencerahan” pun menjadi bagian persoalan bangsa kita pula…
Ia kian penting sebaik sahaja “kata” jadi retorika; bilamana “retorika” jadi “cogan kata.”
Teman-teman dan kekasihku,
“Menjawab”—atau berhujah cara ini—misalnya, akan mudah dianggap sebagai “retorika” dalam konotasi hitam dan malang. Aku lihat ramai yang menganggap ‘praktis-bijak’ diri mereka, yang selalu tampil ke muka bicara dengan membentangkan angka-angka atau graf; dengan membuka kertas pelan perdagangan atau rancangan membangunkan masyarakat—bila tiba pada tingkat bahasa seperti bahasaku ini, manusia cenderung melihat “idea” hanya sebagai kata-kata kosong atau itulah tadinya, sebagai “retorika” dalam konotasi hitam dan malang.
Karena itulah pada kurun ke-8, karya-karya Horatius dianggap sebagai mencerca bangsanya, juga barangkali telah menghina pemimpin besar dan kesatria yang pada hari lalu Horatius tuduk menyerahkan dirinya.
Lantas kepada mereka, kita perlu tegas mengadapkan soalan-soalan kalau memang benar selama angka, graf dan pelan adalah segala-galanya. Manusia yang tidak berfikir akan terus menganggap dirinya benar selagi dia tidak didatangkan ujian.
Inilah antara ujian kita dengan menanyakan secara jelas akan beberapa hal seperti~Mengapa perlu dibongkar hutan dan dibangunkan tanah-tanah perumahan yang baru walhal di wilayah-wilayah atau kota-kota, pergedungan masih berlebihan (?), rumah kekosongan tapi kadar sewa masih juga mahal!
Tuan—begitu sahaja kita panggil diri mereka yang minta kita tunduk—apakah tujuan tuan mencetak surat-surat khabar setiap pagi (?), walhal, kamiguriga yang tuan cetak itu sebenarnya hanya propaganda dan kata nesta yang tanpa kaseh apa pun! Mengapa perlu tuan izinkan seorang yang berdegil dan berpandangan jejek duduk di kerusi itu, berkuasa dan dibayar upah lumayan pula(?), walhal kami sudah tahu dia adalah pelaku korup, pecah amanah dan pecundang! Tidakkah demikian tuan ada berfikir dahulu?
Teman-teman dan kekasihku,
Soalan~sesungguhnya tidak sedikit dan alasan [yang belum tentu “jawapan”] juga selalu bertimbun berlebihan ketimbang “persoalan” itu sendiri. Jadi, sungguhkah “menjawab” selalu bermula dengan men-jawab? Kenyataan ini sama seperti dari mana keberanian untuk tahu; “sapere aude” sesungguhnya muncul dan diberi tafsir di Eropah? Selalukah ia telah bermula dengan “keberanian” secara tunggal dan muthlak untuk mencerca seperti yang dilakukan Horatius, atau seperti peri pentingnya untuk sebuah kesadaran pada kurun ke-18 itu?
Kalau dua jarak masa ini diambil kira, maka, Eropah sendiri terpaksa mengambil masa begitu lama untuk menyalakan sebuah harapan yang dicapai dalam pencerahan; untuk tidak kembali semula ke zaman edan dan jahiliah laku. Saya menjadi begitu takut apabila merasakan bahawa bangsa kita tidak dijamin sesiapa—termasuk tidak ada jaminan oleh Tuhan—bahawa kita akan bebas daripada cengkaman kegelapan. “Tuhan telah pergi”: begitu sepotong kata dalam puisi “Sidang Roh” yang ditulis Kassim Ahmad.
Yang melatah akan melatah lagi—selama itulah rasional tidak hadir.
Tapi, memang benar Tuhan telah pergi apabila Dia sendiri menyatakan bahawa manusia harus menyelesaikan persoalan dan masalahnya sendiri. Manusia yang punya daya hidup untuk berhadapan dengan sakit-pening sampailah kepada daya membangun pelabuhan dan kapal yang boleh membelah badai dan udara, untuk menyusun konsep perdagangan dan politik. Untuk berlaku adil dan tidak adil, untuk meneroka apapun, maka, balasan tidak lagi segera di dunia.
Tuhan tidak ada di sini, karena, Tuhan—selepas Muhammad adalah Nabi akhir sepertima ajaran Islam—telah memilih tidak turut campur tangan dalam urusan manusia, termasuk urusan politik. “Telah Aku sempurnakan kepada kamu ugama kamu,” begitu firman Illahi yang kita dengar. Dan kepada umat, tanpa hujah metafizika, tidak akan ada lagi Nabi selepas Muhammad—seolah-olah Tuhan memilih tidak mahu memanjangkan kuasanya atas urusan dunia, yang, kepada umat sebelum Muhammad, hukum akan selalu segera dibuat.
Teman-teman dan kekasihku,
Kala inilah datang suatu kuasa lain, yang, dengan sedar atau tidak, mahu menggantikan kuasa Tuhan. Jalan paling selamat untuk duduk di tingkat kekuasaan wakil Tuhan adalah dengan memperdagang atau meletakkan nama Tuhan itu sendiri di hadapan aksi politik. Fahaman ini sudah menjadi cukup sulit sehingga zaman pun bisa mulai curiga kepada ugama—sebuah ruang yang hilang hening dalam diri insan. Betapa pilunya ketika membunuh; nama Tuhan disebut dengan lantang…
Kemahuan manusia untuk tahu, yang terangkum dalam kata “sapere aude” ditandakan sebagai “nafsu,” dan nafsu dikaitkan dengan kejahatan, atau setan. Tetapi, dalam diri manusia juga bukan tidak punya hasrat. Dengan menuduh hasrat sebagai “nafsu” adalah “aksi politik” yang paling awal untuk mematikan persoalan dan penentangan; untuk membungkam suara pencarian; untuk mengawal dan menundukkan yang lain. Instutisi dan lembaga didirikan, undang-undang diciptakan, dan peraturan jadi lebih penting ketimbang pertimbangan akal dan nurani. Akal-budi; dengan apa jua cara, harus ditikam-mati. Kita seolah-olah mendengar suara yang nyaring ini, dan semakin selalu kita dengarkan: “kata-kataku adalah kata-kata ugama kamu, dan kata-kata ugama adalah Titah Tuhan di tanganku.”
Sebermula, di mana tersisanya makna manusia dan bagaimana manusia bisa mengakui wujud Tuhan tanpa dia mengakui akan wujud manusia dan hidup ini?
Giovanni Pico Della Mirandola—jangan kita lupa dia. Milandola adalah seorang paderi kurus yang bukan sahaja tahu, tapi taat ugama; dalam orasi yang termashyurnya itu menjelaskan akan konsep “human dignity,” atau “harga diri insan.”
Kata Milandola, begini; “[A]ku mendengarkan dari Abdala [atau nama itu disebut dalam kata Arab sebagai “Abdullah”] seorang Muslim, bila ditanya kepadanya [kepada Abdullah] apakah yang sangat layak dikagumi dan menjadi teras kepada dunia, (Abdala) menjawab; tiada ada yang lebih agung selain manusia.”

Milandola—yang taat ugama; yang taat Tuhan itu—langsung diam. Dialah yang kemudiaannya menuliskan sebuah ucapan yang termahsyur dengan tajuk, “Oration on the Dignity of Man.” Kesadaran orang alim ini kemudiaannya menjadi “manifesto” dan batu tanda kepada kebangkitan bangsa Perancis untuk bebas daripada Zaman Gelap pada kurun ke-15. “Keberanian untuk tahu” sepertimana yang diungkapkan oleh Kant berlatarkan kesadaran Milandola terhadap karamah insaniah; harga dan harkat diri manusia. Dan, saya tegaskan kepada politikus yang memakai baju ugamawan bahawa kesadaran Eropah ini muncul kira-kira 450 tahun selepas Muhammad menyampaikan ajaran Tuhan bahawa manusia itu mulia.
Manusia akan kekal mulia selagi mana dia bebas dalam “penjalanannya” dan tatkala ia mulai dikongkong atas nama apapun, kemuliaan atau karamah itu pun teragut. Boleh. Memang manusia boleh kekal menjaga kemuliaan dirinya kalaulah ia tahu bahawa membebaskan diri dari kongkongan, sama derajatnya dengan membebaskan diri dari segala patung berhala, termasuk patung-patung kekuasaan yang mencengkam.
Semua ini membuatkan saya merenung puisi Horatius tadi: "Engkau harus berfikiran bahwa versa patut mati, Dengan bunyi Thames perak itu nan jauh, Pandanglah pada sayap kebenaran untuk terbang; Di atas melangkaui lagu nan burok."
Teman-teman dan kekasihku, lihatlah ke arah anak kecil yang didokong oleh ibunya ketika melintasi jalanraya. Dengarlah kata-katanya yang sederhana apabila si anak ternampak seekor anjing digilis kenderaan. Apa katanya~“ibu, lihat anjing itu… kasihan bukan?” Maka, apa jawab sang ibu? Jangan dimarahi, dan tidakkah kita berfikir.
SALAM dan selamat petang.
Teman-teman dan kekasihku; ada serangkap puisi Horatius buat semua~
EST you should think that verse shall die,
Which sounds the silver Thames along,
Taught on the wings of truth to fly
Above the reach of vulgar song;
Quintus Haratius Flaccus: nama timang-timangannya dalam kata Inggeris ialah “Horatius.” Pada umur lima puloh tujuh, dia meninggal delapan tahun sebelum tibanya Nabi Isa alaihi-salam.

Hanya selepas pulang dari Philippi di dekat Timur Macedonia, dia memutuskan untuk jadi “tidak suci” lagi, dan, barangkali juga sudah tidak perlu makna kelelakian atas tafsir tradisi yang lelah. Horatius pulang ke Rom dengan pulang untuk sebuah pekerjaan hina, yakni, menulis surat-surat cerca. Horatius dalam sejarahnya bukan sahaja manusia pertama di dunia yang menulis “satira”—dengan sederet kata kabur juga sindir— tetapi dia juga telah menulis “lampoon”; inilah surat-surat cerca!
Pada ketika itu juga kemudiannya dia menghasilkan epistle: sebuah karya Latin yang selalu dirujuk sebagai “Epistularum liber primus.” Kepada semua—disanalah maksud dan pelantar orasi saya malam ini akan bertolak.
***
Maaf karena minggu lalu saya tidak hadir, sedangkan, ada yang menunggu hingga larut.
Kita sesungguhnya sedang membangunkan sebuah pekerjaan yang pada mata orang barangkali sudah tidak punya kiblat dan harap—tapi kita tetap punya cita karena saya yakin sama sekali bukan sedikit hari ini yang misalnya gelisah dan cemoh dengan media, kebudayaan, intelektual, dengan politik dan kekuasaan yang semakin bacul.
Sejak gelodak Reformasi tujuh tahun lalu sepatutnya sudah mampu memahamkan kepada kita betapa kaum muda tidak boleh lagi berlebih-lebih bergantung tali kepada si tua—“tua” nampaknya adalah selalu simbol korup yang maha tegar. Cuma, kita bersyukur apabila dalam tiap ketika, dalam tiap zaman; akan ada sebuah lorong yang lain, yang kini sedang kita cuba untuk teroka. Nama lorong ini adalah “mandiri” dan “ikhtiar.”
Sebelum ke sana, saudara-saudara semestinya sahaja sadar antara yang mencetuskan alasan tidak sama sama sekali dengan yang menyatakan jawapan. Beginilah saya mulai daripada “Epistularum” tadi, pada baris ke 40 dalam fasa 2, atau baris ke 148 keseluruhan, apa kata Horatius (?)—katanya “[D]imidium facti, qui coepit, habet; sapere aude.”
***
SEBELAS abad yang menyusul, Kant menemui dan mengangkat istilah pada akhir kata itu menjadi slogan tunggal: “sapere aude!” Di permukiman Konigsberg yang sekejap lagi bakal diliput salju musim dingin, di dekat Prussia; kata “sapere aude” langsung berkembang atas tafsir—dan barangkali atas keperluan—penghujung abad ke-18.
Immanuel Kant—filasuf dengan “esei 30 September” yang ulung itu; “Answering the Question: What is Enlightenment?”—adalah bulat berhujung-pangkal kepada kata dari karya Horatius tadi. Kita mendengar lantaran Kant yang menulis secara tetap dalam penerbitan Berlinische Monatschrift, [atau, “Bulanan Berlin”] adalah tidak lain tidak bukan untuk berhadapan dengan persoalan-persoalan dari seorang teman yang bertugas dengan pemerintah. Kepada Kant, temannya itu Reverend Johann Friedrich Zöllner tiada putus mengasak untuk memahami makna “Enlightenment” dalam surat-surat yang dia utus kepada Kant—dan kini “pencerahan” pun menjadi bagian persoalan bangsa kita pula…
Ia kian penting sebaik sahaja “kata” jadi retorika; bilamana “retorika” jadi “cogan kata.”
Teman-teman dan kekasihku,
“Menjawab”—atau berhujah cara ini—misalnya, akan mudah dianggap sebagai “retorika” dalam konotasi hitam dan malang. Aku lihat ramai yang menganggap ‘praktis-bijak’ diri mereka, yang selalu tampil ke muka bicara dengan membentangkan angka-angka atau graf; dengan membuka kertas pelan perdagangan atau rancangan membangunkan masyarakat—bila tiba pada tingkat bahasa seperti bahasaku ini, manusia cenderung melihat “idea” hanya sebagai kata-kata kosong atau itulah tadinya, sebagai “retorika” dalam konotasi hitam dan malang.
Karena itulah pada kurun ke-8, karya-karya Horatius dianggap sebagai mencerca bangsanya, juga barangkali telah menghina pemimpin besar dan kesatria yang pada hari lalu Horatius tuduk menyerahkan dirinya.
Lantas kepada mereka, kita perlu tegas mengadapkan soalan-soalan kalau memang benar selama angka, graf dan pelan adalah segala-galanya. Manusia yang tidak berfikir akan terus menganggap dirinya benar selagi dia tidak didatangkan ujian.
Inilah antara ujian kita dengan menanyakan secara jelas akan beberapa hal seperti~Mengapa perlu dibongkar hutan dan dibangunkan tanah-tanah perumahan yang baru walhal di wilayah-wilayah atau kota-kota, pergedungan masih berlebihan (?), rumah kekosongan tapi kadar sewa masih juga mahal!
Tuan—begitu sahaja kita panggil diri mereka yang minta kita tunduk—apakah tujuan tuan mencetak surat-surat khabar setiap pagi (?), walhal, kamiguriga yang tuan cetak itu sebenarnya hanya propaganda dan kata nesta yang tanpa kaseh apa pun! Mengapa perlu tuan izinkan seorang yang berdegil dan berpandangan jejek duduk di kerusi itu, berkuasa dan dibayar upah lumayan pula(?), walhal kami sudah tahu dia adalah pelaku korup, pecah amanah dan pecundang! Tidakkah demikian tuan ada berfikir dahulu?
Teman-teman dan kekasihku,
Soalan~sesungguhnya tidak sedikit dan alasan [yang belum tentu “jawapan”] juga selalu bertimbun berlebihan ketimbang “persoalan” itu sendiri. Jadi, sungguhkah “menjawab” selalu bermula dengan men-jawab? Kenyataan ini sama seperti dari mana keberanian untuk tahu; “sapere aude” sesungguhnya muncul dan diberi tafsir di Eropah? Selalukah ia telah bermula dengan “keberanian” secara tunggal dan muthlak untuk mencerca seperti yang dilakukan Horatius, atau seperti peri pentingnya untuk sebuah kesadaran pada kurun ke-18 itu?
Kalau dua jarak masa ini diambil kira, maka, Eropah sendiri terpaksa mengambil masa begitu lama untuk menyalakan sebuah harapan yang dicapai dalam pencerahan; untuk tidak kembali semula ke zaman edan dan jahiliah laku. Saya menjadi begitu takut apabila merasakan bahawa bangsa kita tidak dijamin sesiapa—termasuk tidak ada jaminan oleh Tuhan—bahawa kita akan bebas daripada cengkaman kegelapan. “Tuhan telah pergi”: begitu sepotong kata dalam puisi “Sidang Roh” yang ditulis Kassim Ahmad.
Yang melatah akan melatah lagi—selama itulah rasional tidak hadir.
Tapi, memang benar Tuhan telah pergi apabila Dia sendiri menyatakan bahawa manusia harus menyelesaikan persoalan dan masalahnya sendiri. Manusia yang punya daya hidup untuk berhadapan dengan sakit-pening sampailah kepada daya membangun pelabuhan dan kapal yang boleh membelah badai dan udara, untuk menyusun konsep perdagangan dan politik. Untuk berlaku adil dan tidak adil, untuk meneroka apapun, maka, balasan tidak lagi segera di dunia.
Tuhan tidak ada di sini, karena, Tuhan—selepas Muhammad adalah Nabi akhir sepertima ajaran Islam—telah memilih tidak turut campur tangan dalam urusan manusia, termasuk urusan politik. “Telah Aku sempurnakan kepada kamu ugama kamu,” begitu firman Illahi yang kita dengar. Dan kepada umat, tanpa hujah metafizika, tidak akan ada lagi Nabi selepas Muhammad—seolah-olah Tuhan memilih tidak mahu memanjangkan kuasanya atas urusan dunia, yang, kepada umat sebelum Muhammad, hukum akan selalu segera dibuat.
Teman-teman dan kekasihku,
Kala inilah datang suatu kuasa lain, yang, dengan sedar atau tidak, mahu menggantikan kuasa Tuhan. Jalan paling selamat untuk duduk di tingkat kekuasaan wakil Tuhan adalah dengan memperdagang atau meletakkan nama Tuhan itu sendiri di hadapan aksi politik. Fahaman ini sudah menjadi cukup sulit sehingga zaman pun bisa mulai curiga kepada ugama—sebuah ruang yang hilang hening dalam diri insan. Betapa pilunya ketika membunuh; nama Tuhan disebut dengan lantang…
Kemahuan manusia untuk tahu, yang terangkum dalam kata “sapere aude” ditandakan sebagai “nafsu,” dan nafsu dikaitkan dengan kejahatan, atau setan. Tetapi, dalam diri manusia juga bukan tidak punya hasrat. Dengan menuduh hasrat sebagai “nafsu” adalah “aksi politik” yang paling awal untuk mematikan persoalan dan penentangan; untuk membungkam suara pencarian; untuk mengawal dan menundukkan yang lain. Instutisi dan lembaga didirikan, undang-undang diciptakan, dan peraturan jadi lebih penting ketimbang pertimbangan akal dan nurani. Akal-budi; dengan apa jua cara, harus ditikam-mati. Kita seolah-olah mendengar suara yang nyaring ini, dan semakin selalu kita dengarkan: “kata-kataku adalah kata-kata ugama kamu, dan kata-kata ugama adalah Titah Tuhan di tanganku.”
Sebermula, di mana tersisanya makna manusia dan bagaimana manusia bisa mengakui wujud Tuhan tanpa dia mengakui akan wujud manusia dan hidup ini?
Giovanni Pico Della Mirandola—jangan kita lupa dia. Milandola adalah seorang paderi kurus yang bukan sahaja tahu, tapi taat ugama; dalam orasi yang termashyurnya itu menjelaskan akan konsep “human dignity,” atau “harga diri insan.”
Kata Milandola, begini; “[A]ku mendengarkan dari Abdala [atau nama itu disebut dalam kata Arab sebagai “Abdullah”] seorang Muslim, bila ditanya kepadanya [kepada Abdullah] apakah yang sangat layak dikagumi dan menjadi teras kepada dunia, (Abdala) menjawab; tiada ada yang lebih agung selain manusia.”

Milandola—yang taat ugama; yang taat Tuhan itu—langsung diam. Dialah yang kemudiaannya menuliskan sebuah ucapan yang termahsyur dengan tajuk, “Oration on the Dignity of Man.” Kesadaran orang alim ini kemudiaannya menjadi “manifesto” dan batu tanda kepada kebangkitan bangsa Perancis untuk bebas daripada Zaman Gelap pada kurun ke-15. “Keberanian untuk tahu” sepertimana yang diungkapkan oleh Kant berlatarkan kesadaran Milandola terhadap karamah insaniah; harga dan harkat diri manusia. Dan, saya tegaskan kepada politikus yang memakai baju ugamawan bahawa kesadaran Eropah ini muncul kira-kira 450 tahun selepas Muhammad menyampaikan ajaran Tuhan bahawa manusia itu mulia.
Manusia akan kekal mulia selagi mana dia bebas dalam “penjalanannya” dan tatkala ia mulai dikongkong atas nama apapun, kemuliaan atau karamah itu pun teragut. Boleh. Memang manusia boleh kekal menjaga kemuliaan dirinya kalaulah ia tahu bahawa membebaskan diri dari kongkongan, sama derajatnya dengan membebaskan diri dari segala patung berhala, termasuk patung-patung kekuasaan yang mencengkam.
Semua ini membuatkan saya merenung puisi Horatius tadi: "Engkau harus berfikiran bahwa versa patut mati, Dengan bunyi Thames perak itu nan jauh, Pandanglah pada sayap kebenaran untuk terbang; Di atas melangkaui lagu nan burok."
Teman-teman dan kekasihku, lihatlah ke arah anak kecil yang didokong oleh ibunya ketika melintasi jalanraya. Dengarlah kata-katanya yang sederhana apabila si anak ternampak seekor anjing digilis kenderaan. Apa katanya~“ibu, lihat anjing itu… kasihan bukan?” Maka, apa jawab sang ibu? Jangan dimarahi, dan tidakkah kita berfikir.
Kepada si anak, belum sampai kepadanya ajaran ugama apa pun dan Titah Tuhan mana pun yang meminta agar dia berkaseh-kaseh kepada binatang dan gunung-gunung untuk memberi "petunjukkan" dan berkata "kasihan" ke atas anjing yang bukan belaannya. Barangkali kerana itulah Kant meletakkan sebelum kata Horatius itu, “sapere aude” akan sebuah asas yang kuat dengan apa yang disebut sebagai “selbst verschuldeten Unmündigkeit,” yakni, “ketidakmatangan dan kebergantungan.”
Dalam hayat anak kecil itu sekalipun, dia seperti kita tidak punya masa yang terlalu lama.
Sekian. Terima kaseh.
Dalam hayat anak kecil itu sekalipun, dia seperti kita tidak punya masa yang terlalu lama.
Sekian. Terima kaseh.
17 Februari 2006 / 18 Muharam 1427